Suka menulis cerita karena imajinasi yang saya tulis adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Walaupun hidup bukan hanya tentang imajinasi.

Bahasa dan Kelas Sosial dalam Novel Student Hidjo Karya Mas Marco

Senin, 26 Mei 2025 21:43 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kegelisahan Setelah Membaca Student Hidjo Karya Mas Marco Kartodikromo
Iklan

Student Hidjo adalah salah satu karya sastra penting dari Mas Marco Kartodikromo, seorang penulis progresif

Student Hidjo adalah salah satu karya sastra penting dari Mas Marco Kartodikromo, seorang penulis progresif yang dikenal lantang dalam menyuarakan kritik sosial melalui karya-karyanya. Ia sering kali menerbitkan tulisan di luar lembaga resmi pemerintah kolonial, yakni Balai Pustaka. Lahir di Cepu, Blora, pada 1890, dan wafat di Boven Digoel, Papua, tahun 1932, Mas Marco berasal dari kalangan priyai rendah, namun karya-karyanya mencerminkan semangat kebebasan berpikir dan semangat perlawanan terhadap penindasan kolonial.

Karya terkenalnya, Student Hidjo (1919), pertama kali dipublikasikan sebagai cerita bersambung dalam harian Sinar Hindia tahun 1918. Novel ini menyoroti munculnya kaum intelektual dari lapisan borjuis kecil pribumi yang mulai berani mengkritik ketimpangan antara kehidupan di Hindia-Belanda dan Belanda. Dalam kisahnya, tokoh utama, Hidjo, digambarkan harus melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda sebagai bagian dari dinamika kelas sosial yang dibentuk oleh pemerintah kolonial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam struktur masyarakat kolonial, penduduk dikelompokkan ke dalam tiga kelas sosial. Pertama adalah kelompok priyai atau pendukung pemerintahan kolonial. Kedua, kelompok pedagang yang berasal dari kalangan kaya seperti keluarga Hidjo. Ketiga, adalah golongan petani atau wong cilik yang hidup dari menggarap tanah milik orang lain dan dianggap sebagai kelas sosial terendah.

Menariknya, novel ini tidak hanya menyampaikan kritik melalui cerita, tetapi juga melalui pilihan bahasa. Bahasa menjadi simbol pembeda kelas. Dalam Student Hidjo, tidak ditemukan penggunaan bahasa Jawa, meskipun tokohnya adalah orang Jawa. Sebaliknya, novel ini menggunakan bahasa Melayu dan Belanda. Bahasa Belanda dalam novel digunakan terutama oleh tokoh-tokoh dari golongan atas, mencerminkan bahwa penguasaan bahasa tersebut adalah penanda status sosial tinggi.

Beberapa kutipan dalam novel memperjelas fenomena ini:

> “Heerlijk!” sambil berjalan cepat dari kamar mandi menuju kamarnya. “O, ya!” jawab Hidjo yang baru membaca buku dan menatap Biroe sebentar. “Djo, ik ben klaar!” kata Raden Ajeng sehabis berdandan, keluar dari kamar dan menghampiri tunangannya. (Student Hidjo, hal. 13)

Dalam kutipan di atas, kata “Heerlijk” berarti “bagus”, sementara “ik ben klaar” berarti “saya sudah selesai”—dua ungkapan dalam bahasa Belanda yang dipakai dalam percakapan sehari-hari tokoh-tokoh elit dalam novel.

> “Been je gek Bet,” kata mamahnya marah mendengar kata-kata anaknya. “Nee, Mevrouw! Kalau kulit saya bisa menjadi putih seperti orang-orang Belanda, memang saya senang jadi orang Belanda,” kata Hidjo dengan berani kepada nyonya rumah. “Tetapi, karena kulit saya ini bruin (merah tua), baiklah, saya jadi orang Hindia saja,” “Dat geeft niks!” kata Betje untuk membalas perkataan Hidjo. (Student Hidjo, hal. 48)

Kutipan ini menampilkan bagaimana bahasa Belanda digunakan dalam interaksi tokoh-tokoh penting. Kalimat “Nee, Mevrouw!” berarti “Tidak, nyonya!” dan “bruin” berarti “merah tua”. Percakapan ini menunjukkan keterlibatan bahasa dalam wacana identitas dan pengakuan diri.

> “Ya!” Kata R.A. Woengoe Ketika mendengar pintu kamarnya diketuk oleh R.M. Wardojo. “Ben je klaar Zus?” tanya Wardojo di depan pintu kepada saudara perempuannya. “Ya, ik been klaar,” jawab Woengoe dengan suara nyaring. “Ga binnen!” (Student Hidjo, hal. 61)

Ungkapan “Ben je klaar Zus?” berarti “Sudah selesai, Dik?”, dan “Ga binnen!” bermakna “Silakan masuk”. Selain itu, penyematan gelar seperti Regent, Mevrouw, atau Government juga mencerminkan kekuasaan dan tatanan sosial yang berlaku saat itu.

Melalui berbagai kutipan tersebut, terlihat bahwa bahasa Belanda bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga menjadi simbol status dan alat diskriminasi budaya. Hanya golongan tertentu—priyai dan pedagang terdidik lulusan HBS—yang mampu menggunakan bahasa ini, sedangkan rakyat kebanyakan tetap menggunakan bahasa lokal seperti Melayu atau Jawa.

Kecenderungan Mas Marco dalam menggunakan bahasa Melayu dan Belanda dalam karyanya juga memperlihatkan identitasnya sebagai jurnalis dan intelektual yang memilih bahasa sebagai alat perjuangan. Ia tidak menuliskan novelnya dalam bahasa ibunya—Jawa—melainkan bahasa yang lebih luas jangkauannya agar pesan-pesan sosial yang dikandungnya dapat menjangkau lebih banyak pembaca.

Dengan demikian, Student Hidjo bukan hanya karya sastra biasa. Novel ini menjadi cerminan tajam tentang bagaimana bahasa, kekuasaan, dan kelas sosial saling terkait erat dalam masyarakat kolonial Hindia-Belanda.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Nadia Rahma

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua